SELAMAT DATANG PEJUANG COPY PASTE SELAMAT MEMBACA KAWAN By TeguhDwiLaksana

Sejarah Sastra


Sejarah Sastra

Apakah mungkin menuliskan sejarah sastra, yang sekaligus merupakan sejarah, dan berpendekatan sastra? Harus diakui bahwa kebanyakan sejarah sastra adalah sejarah sosial atau sejarah pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra, atau impreasi dan penilaian atas beberapa karya sastra yang di atur kurang lebih secara kronologis. Pandangan sekilas atas sejarah historiografi sastra Inggris akan mendukung pendapat ini. Thomas Warton (salah seorang sejarawan “formal” yang menyusun sejarah puisi Inggris) memberikan alasannya untuk mempelajari sastra kuno. Katanya, “sastra kuno dengan setia merekam keadaan zamannya dalam bentuk yang sangat indah dan ekspresif”, dan “mewariskan kepada anak cucu gambaran kehidupan yang benar-benar asli. Henry Morley melihat sastra sebagai “biografi nasional” atau sebagai “cerita tentang alam pikiran orang inggris”. Leslie Stephen menganggap sastra sebagai suatu “fungsi tertentu dari seluruh organisme sosial”, “sejenis produk sampingan” dari perubahan sosial. W.J. Courthope (pengarang dari satu-satunya sejarah puisi Inggris berdasarkan suatu konsepsi yang utuh tentang perkembangannya) menjabarkan “studi puisi Inggris sebagai studi dari perkembangan yang terus-menerus dari lembaga-lembaga nasional kita yang dicerminkan dalam sastra”, dan ia mencari kesatuan subjeknya “tepatnya di tempat sejarawan politik mencarinya, yakni dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan.
Sementara sejarawan di atas dan banyak sejarawan lain memperlakukan sastra sebagai dokumen untuk ilustrasi sejarah nasional atau sejarah sosial, ada kelompok lain yang menyadari bahwa sastra adalah seni nomor satu. Dalam kata pengantarnya untuk buku A Short History of Modern English Literatur (1897), Edmund Gosse mengaku berusaha untuk menunjukkan “pergerakan dalam sastra Inggris”. Tetapi sebenarnya ia hanya menyebutkan hal itu karena tahu bahwa penulisan sejarah sastra yang ideal semacam itu sedang populer di Prancis. Dalam prakteknya, ia tidak melakukannya. Buku-bukunya hanya merupakan satu seri pernyataan terhadap sejumlah pengarang dan karyanya, yang di atur secara kronologis. Baru kemudian, Gosse mengakui bahwa ia memang tidak tertarik pada gaya penulisan sejarah Taine, dan lebih dekat pada sainte-beuve,ahli penulis potret Nutatis mutandis, hal yang sama berlaku untuk George Saintsbury, yang konsep kritiknya lebih dekat pada teori dan praktek’’apresiasi’’ Walter Peter, dan untuk Oliver Elton, yang enam jilid bukunya, Survey of english literature,merupakan prestasi yang paling meyakinkan dalam penulisan sejarah sastra inggris.ia dengan jujur mengaku bahwa bukunya sebetulnya merupakan’’sebuah resensi,kritik langsung’’dan bukan sejarah daftar ini bisa diteruskan,dan tak akan ada habisnya memang ada sejumlah perkecualian pada penulisan sejarah sastra prancis dan jerman,tetapi selebihnya sama saja. Taine, misalnya, dalam teori-teorinya lebih tertarik pada kepribadian nasional dan filsafat tentang milieu dan bangsa, Jusserand mempelajari sejarah perilaku dengan bahan sastra inggris, dan Cazamian menciptakan teori tentang’’gerakan bandul dalam irama moral jiwa nasional bangsa inggris’’. Kebanyakan sejarah sastra yang paling menonjol adalah sejarah kebudayaan atau kumpulan kritik sastra. Tipe pertama bukan sejarah seni,sedangkan tipe yang kedua bukan sejarah seni.
Mengapa tidak ada dalam skala yang luas usaha untuk menelusuri evolusi sastra sebagai seni? Salah satu penghalangnya adalah kenyataan bahwa analisis-analisis karya sastra yang pernah dilakukan sebelumnya,tidak konsisten dan sistematis.di satu pihak ada kriteria retorik yang sudah usang,yang tidak memuaskan karena terlalu memperhatikan teknik-teknik yang dangkal. Di pihak lain,ada studi bahasa emotif yang mempelajari dampak sastra terhadap pembaca studi yang tidak mampu membuat kolerasi langsung dengan karya sastra itu sendiri.
 Kesulitan lain adalah prasangka bahwasejarah sastra tidak mungkin disusun,kecuali berdasarkan suatu penjelasan kausal yang berkaitan dengan kegiatan manusia.
Kesulitan ketiga terletak pada seluruh konsepsi perkembangan seni sastra. Sedikit yang meragukan kemungkinan membuat sejarah internal seni lukis dan seni musik.untuk itu, cukup kita mengunjungi beberapa galeri seni yang disusun menurut susunan kronologis, atau menurut’’aliran’’nya. Dari situ kita dapat melihat bahwa ada sejarah seni lukis yang yang berbeda dari sejarah pelukis, atau apresiasi dan penilaian lukisan secara terpisah. Untuk menyusun sejarah seni musik,kita cukup mendengarkan konser yang komposisinya diatur secara kronologis.dari situ kita dapat melihat bahwa ada sejarah musik yang tidak berkaitan dengan biografi komponis,kondisi sosial produksi musik,atau apreasi musik tertentu. Sejarah-sejarah semacam itu sudah dicoba dalam seni lukis dan seni patung sejak Winckleman menulis Geschicle Der Kunts im altertum (1764), dan dalam seni musik sejak burney mulai memperhatikan sejarah bentuk-bentuk musikal.
Mula- mula sejarah sastra juga mempunyai masalah yang sama,karena memcoba menelusuri sejarah sastra sebagai seni,terpisah dari sejarah sosial,biografi pengarang,atau apresiasi karya perorangan. Tentu saja,tugas sejarah sastra(dalam arti yang sempit) menimbulkan masalah yang khusus dibandingkan dengan lukisan,yang dapat dilihat dalam satu kilasan.karya sastra hanya dapat diapresiasi melalui waktu yang cukup lama. Jadi, lebih sukar diwujudkan sebagai suatu kesatuan yang koheren.tetapi analogi dengan bentuk musik menunjukan bahwa ada kemungkinan munculnya suatu pola, walaupun pola itu hanya dapat ditangkap dalam suatu urutan waktu tertentu. Ada lagi masalah-masalah khusus yang lain dalam sastra, ada transisi bertahap.dari pernyataan yang sederhana sampai karya yang sangat terolah,karena medium sastra,yaitu bahasa.juga merupakan medium komunikasi sehari-hari dan medium ilmu pengetahuan. Jadi, lebih sulit memisahkan struktur estetis sastra.tetapi sebuah ilustrasi dalam buku kedokteran dan lagu mars tentara adalah dua contoh yang menunjukan bahwa seni lukis dan musik juga mempunyai kasus-kasus perbatasan semacam itu, dan kesulitan dalam membedakan seni dan bukan seni dalam ujaran linguistik hanyalah lebih besar secara kuantitatif saja.
Tetapi teoretikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah,W.P. ker mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra,karena objek-objek sastra selalu ada, bersifat’’abadi’’,dan karenanya tidak mempunyai sejarah sama sekali. T.S.eliot juga membantah adanya’’masa lampau’’dari suatu karya sastra.’’seluruh sastra eropa sejak homer,’’katanya,’’mempunyai keberadaan yang simultan dan membuat susunan yang simultan (‘’the whole of the literature of europe from homer, he says,’’has a simultaneous existence and composes a simultaneous order’’). Seperti Schopenhauer, kita dapat menyatakan,bahwa seni selalu mencapai tujuannya.seni tidak pernah menjadi lebih baik, tidak pernah dapat digantikan atau diulang. Dalam seni kita tidak perlu mencari wie es eigentlich gewesen seperrti anggapan.ranke tentang tujuan historiografi karena kita dapat langsung mengalami karya seni. Jadi, menurut pandangan ini,sejarah sastra bukanlah sejarah dalam arti sebenarnya,karena merupakan pengetahuan tentang masa kini, yang selalu ada,dan yang selamanya ada.kita memang tidak bisa membantah ada perbedaan jelas antara sejarah politik dan sejarah seni antara sesuatu yang bersifat sejarah dan berada di masa lampau,dan sesuatu yang bersifat sejarah tetapi berada dimasa sekarang,memang ada bedanya.
Seperti yang telah kita tunjukan sebelumnya,sebuah karya sastra tidak akan bersifat tetap sepanjang sejarah. Memang ada sesuatu identitas mendasar dari strukturnya yang tetap sama sepanjang zaman. Tetapi struktur ini  bersifat dinamis. Struktur itu berubah sepanjang sejarah ketika melalui pikiran pembaca, kritikus, dan sesama seniman. Proses interpretasi, kritik sastra,dan apresiasi tidak pernah dapat diputus, dan akan tetap berlangsung seperti itu. Paling tidak, tradisi budaya tidak pernah diinterupsi sepenuhnya, salah satu tugas sejarawan sastra adalah menggambarkan proses ini. Tugas yang lain adalah menelusuri perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok yang lebih kecil, atau lebih besar, sesuai dengan kesamaan genre,atau tipe stalistika atau tradisi linguistik. Dan akhirnya, yang menyamakannya adalah skema sastra universal.
Tetapi konsep perkembangan satu seri karya sastra agaknya merupakan konsep yang sangat sulit.dalam pengertian tertentu, tiap karya sastra adalah suatu struktur yang tidak dilanjutkan oleh karya sastra yang lain.kita dapat mengatakan bahwa tidak ada perkembangan dari satu individualitas  dalam sastra ke inndividualitas lainnya. Bahkan ada suatu pendapat bahwa tidak ada sejarah sastra; yang ada hanyalah sejarah manusia yang menulis.tetapi menurut argumen yang sama,kita harus berhenti menulis sejarah bahasa, karena hanya ada sejarah manusia yang membuat ujaran, dan kita juga harus berhenti menulis sejarah filsafat,karena yang ada hanyalah sejarah manusia yang berpikir.’’personalisme’’yang ekstrem seperti ini tentu mengarah kesuatu pandangan baha setiap karya sastra sama sekali terpisah satu sama lain. Dalam prakteknya, hal ini berarti bahwa karya sastra tidak dapat di pahami dan tidak komunikatif sama sekali. Yang harus dilihat ialah karya sastra sebagai suatu keseluruhan sistem karya, yang dengan penambahan karya baru,selalu berubah hubungannya dan berkembang sebagai suatu keseluruhan yang berubah.
Perkembangan berarti ada sesuatu yang lain dan yang lebih dari sekedar perubahan, atau yang lebih dari sekedar perubahan yang teratur dan dapat diramalkan. Nampaknya jelas bahwa hal ini harus diterapkan seperti dalam bidang biologi. Dalam biologi, kalau kita perhatikan, ada dua konsep evolusi. Yang pertama adalah proses yang ditunjukkan oleh perkembangan dari telur menjadi burung, dan yang kedua adalah perkembangan yang ditunjukkan oleh perubahan dari otak ikan menjadi otak manusia. Di sini tidak ada satu seri otak yang benar-benar berkembang, tetapi yang ada hanyalah perkembangan dalam abstraksi konseptual. “Otak” di sini dapat dijabarkan dalam pengertian fungsinya. Tahapan dalam perkembangan merupakan tahapan sejumlah perkiraan tentang otak, sampai ke perkembangan yang mendekati konsep “otak manusia”.
Istilah “evolusi” dalam pengertian pertama jelas tak lebih dari sekadar metafora yang terlalu mengada-ada. Misalnpertama jelas tak lebih dari sekadar metafora yang terlalu mengada-ada. Misalnya, menurut Brunetiere, tragedi Prancis, lahir, tumbuh, mundur, dan mati. Tetapi tertium comparationis untuk ahirnya tragedi adalah argumen bahwa tidak ada tragedi di Prancis yang ditulis sebelum Jodelle. Tragedi mati dalam arti tidak ada tragedi penting, menurut kreteria Brunetiere, yang ditulis setelah Voltaire. Tetapi selalu ada kemungkinan bahwa di masa depan akan ada tragedi besar yang ditulis dalam kesusastraan Prancis. Menurut Brunetiere, karya Racine yang berjudul Phedre terletak pada awal kemunduran tragedi; jadi, berada pada masa tua tragedi.
Meskipun kita telah menolak analogi biologis antara perkembangan sastra dan proses evolusi dari lahir sampai kematian-ide ini tidak hilang, dan bahkan baru-baru ini dihidupkan kembali oleh Spengler dan Toynbee-tapi “evolusi” dalam pengrtian kedua ini nampaknya lebih dekat dengan konsep evolusi sejarah. Pandangan ini beranggapan bahwa kita tidak hanya melihat suatu urutan perubahan, tetapi harus melihat tujuan perubahan itu. Pemecahannya dapat diperoleh dengan mengaitkan proses sejarah ke suatu nilai atau norma. Hanya dengan demikian, suatu urutan peristiwa yang nampak tidak berarti dapat dipecah-pecah menjadi unsur-unsur yang penting dan tidak penting. Relativitas dari setiap karya sastra pada suatu skala nilai adalah korelatif penting bagi kekhususan karya itu. Urutan perkembangan akan diatur dengan acuan kepada skema nilai atau norma, tetapi nilai-nilai ini hanya muncul dari kontemplasi terhadap proses tersebut. Memang, di sini berlaku suatu lingkaran logika: proses sejarah harus dinilai berdasarkan nilai, sedangkan skala nilai itu sendiri berasal dari sejarah. Tetapi ini tidak dapat di hindarkan, karena di satu pihak kita harus menerima pandangan bahwa sejarah merupakan aliran perubahan yang tidak berarti, atau kita harus menerapkan standar dari luar sastra –sejumlah standar absolut yang berada di luar proses sastra.
Pembahasan mengenai evolusi sastra ini mau tidak mau terpaksa bersifat abstrak. Kita telah berusaha membedakan evolusi sastra dan evolusi biologi, dan bahwa evolusi sastra bukan merupakan suatu perkembangan yang seragam ke arah satu model yang abadi. Sejarah hanya dapat ditulis dengan mengacu ada skema nilai yang beragam, dan skema ini harus ditarik dari sejarah itu sendiri. Pemikiran ini dapat kita jelaskan dengan contoh-contoh masalah yang dihadapi oleh sejarah sastra. Meskipun banyak disalahgunakan, metode ini hendaknya tidak ditolak mentah-mentah, karena merupakan suatu pendekatan yang absah. Dengan melakukan penelitian yang sangat hati-hati, kita dapat menjelaskan hubungan sastra. Yang kurang menarik dipelajari adalah kutipan, plagiarisme, dan gema suatu karya pada karya lain. Fakta-fakta semacam ini paling banyak hanya dapat membuktikan bahwa ada kaitan antara dua pengarang, meskipun ada pengarang (seperti Sterner dan Burton) yang tahu bagaimana memanfaatkan kutipan untuk tujuan artistik mereka sendiri. Kaitan antara beberapa karya sastra menyajikan masalah bagi kritik sastra. Di sini kritik sastra dituntut untuk membandingkan dua karya yang utuh, duan konfigurasi yang tidak boleh dipecah-pecah menjadi komponen-komponen, kecuali untuk persiapan penelitian.
Orisinalitas sering disalah artikan sebagai penyelewengan dari tradisi. Kadang-kadang orisinalitas dicari ditempat yang salah, yakni hanya pada bahan mentah karya sastra, atau pada pemasungan alur tradisional dan kerangka konvensional. Pada periode-periode awal, ada pegertian yang lebih sehat tentang sifat kreasi sastra. Ada kesadaran bahwa nilai artistik dari alur yang orisinal atau bahan cerita yang orisinal tidak terlalu tinggi. Aliran Renaisans dan Neo-Klasik bahkan sangat menggap penting karya terjemahan (terutama terjemahan puisi) dan “tiruan”-seperti usaha Pope menirukan satire Horace dan usaha Samoel Johnson menirukan karya Juventul.” Dalam bukunya, European Literture and the Latin Middle Ages (1948), Ernst Robert Curtius telah menunjukkan secara meyakinkan peranan hal-hal yang bisa (topoi), tema-tema yang sudah umum, dan pencitraan yang berasal dari masa silam dan zaman pertengahan Latin dalam sejarah sastra dan kesusastraan modern. >>>>>> Sejarah Mumi Mesir Kuno Klik Disini.... <<<<<<
Kita dapat menilai satu karya atau sekelompok karya yang dianggap sebagai yang paling matang, lalu membandingkan seluruh karya yang lain berdasarkan tipe yang kita pilih tadi. Penilitian semacam ini sudah sering di coba dalam banyak publikasi, meskipun jarang dengan kesadaran yang jelas pada masalah yang terkait, dan biasanya dengan mencampuradukkan masalah karya dengan masalah kehidupan pribadi pengarang. Salah satu tipe seri evolusi dapat disusun dengan cara memisahkan salah satu kecendrungan dalam karya sastra, lalu menelusuri perkembangan dalam mencapai suatu tipe ideal (walaupun hanya sementara saja bersifat ideal). Ini dapat dilakukan dalam tulisan satu pengarang, misalnya, kalau kita meneliti-seperti yang dilakukan Clemen-evolusi pencitraan Shakespeare, atau jika kita meneliti satu periode sejarah sastra atau sastra nasional tertentu. Stoffgeschichte adalah sejarah yang paling sedikit menyangkut segi sastra.
        Sejarah genre sastra dan tipe sastra menampilkan permasalahan yang lain. Tetapi permasalahan ini bukannya tidah dapat dipecahkan. Dan meskipun Croce berusaha mendiskreditkan keseluruhan konsepsi sejarah tipe dan genre, telah banyak dilakukan penelitian untuk menyiapkan sebuah teori. Penelitian-penelitian pendahuluan itu sendiri telah menyiratkan suatu teori yang diperlukan untukmenyusun sebuah sejarah yang jelas. Dilema sejarah genre adalah dilema semua sejarah. Pendekatan “morfologis” dapat dan harus diterapkan dalam skala yang luas untuk mempelajari folklaor. Dalam folkalor, genre-genre lebih jelas dijabarkan dari sastra seni, dan studi morfologis lebih berarti daripada sekedar studi migrasi “motif” dan alur. Di rusia, penelitian semacam ini sudah mulai dengan baik. Masalah yang sama ditimbulkan oleh sejarah suatu periode atau aliran. Pembahasan tentang perkembangan harus menunjukkan bahwa kita tidak menyetujui dua buah pandangan yang ekstrem. Yang pertama adalah pandangan metafisik bahwa suatu periode adalah suatu kesatuan yang sifatnya harus ditentukan, sedangkan pandangan yang lain bersifat nominalistis. Periode dianggap hanya merupakan label linguistik untuk suatu kurun waktu tertentu yang diperlukan untuk tujuan menguraikan. Nominalisme yang ekstrem berasumsi bahwa suatu periode merupakan suatu pemaksaan yang bersifat seenaknya atas bahan-bahan yang sebetulnya merupakan suatu keragaman yang tidak terarah dan berlangsung secara terus-menerus.
Pada  periode sejarah sastra dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi politik atau sosial suatu negara, dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial ini biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi. Kalau kita melihat sejarah sastra Inggris yang lebih tua, kita akan mendapati bahwa sejarah itu ditulis menurut pembagian tanggal atau menurut kreteria politik yang sederhana, misalnya pemerintahan raja-raja Inggris. Kita tidak perlu lagi sastra inggris dibagi menurut waktu kematian para raja ini. Kita tidak lagi berpegang secara kaku pada periodisasi secara kronologis yang ditentukan oleh naik dan matinya raja-raja. Kita memakai istilah “Elizabethan” untuk mengacu pada penulis-penulis yang hidup sebelum tutupnya teater (1642), empat puluh tahun setelah kematian Ratu Elizabeth. Dan sebaliknya, meskipun Oscar Wilde hidup pada waktu pemerintah RatuVictoria, kita tidak menganggap Oscar Wilde sebagai pembagian politi, kini mempunyai makna baru dalam sejarah pemikiran dan sejarah sastra.
Untuk mempertahankan istilah campuran semacam ini, kita dapat mengatakan bahwa kekacauan disebabkan oleh sejarah itu sendiri. Sebagai sejarawan sastra, pertama-tama kita harus memperhatikan pemikiran dan konsepsi, program dan nama-nama yang diberikan oleh penarang-pengarangnya sendiri, dan dengan demikian harus puas dengan pembagian yang dibuat oleh para pengarang. Kalau hasil periode sastra itu kebetulan sama dengan periodisasi politik, sosial, cabang seni yang lain, dan sejarah pemikiran, kita tidak perlu merasa keberatan. Tetapi titik tolaknya harus tetap perkemabangannya sastra sebagai sastra. Jadi, periode hanya merupakan subbagian dari perkembangan universal. Sejarah sastra hanya dapat disusun dengan acuan ke suatu skema nilai yang bervariasi, yang hanya dapat diabstraksikan dari sejarah itu sendiri. Dengan demikian, suatu periode merupakan bagian waktu yang didominasi oleh sistem norma, standar konvensi sastra, yang dapat ditelusuri penyebaran, diversifikasi, integrasi, dan kepunahannya.
Jadi,suatu periode bukannya suatu tife atau kelas, tetapi merupakan bagian waktu yang dijabarkan oleh sistem norma yang melekat pada proses sejarah, dan tidak dapat dilepaskan daripadanya. Berbagai usaha yang tidak berhasil untuk menjabarkan Romantisme menunjukkan bahwa sebuah periode adalah sebuah konsep yang berbeda logikanya dari sebuah kelas. Kalau seandainya sama, maka semua karya dapat dianggap termasuk didalamnya. Masalah penelusuran sejarah periode merupakan masalah deskripsi. Kita perlu memperhatikan kemunduran suatu konvensi dan bangkitnya konvrnsi yag baru. Mengapa perubahan konvensi ini terjadi pada waktu tertentu merupakan masalah sejarah yang tidak dapat dipecahkan dalam istilah-istilah yang umum. Salah satu tipe pemecahan yang diusulkan beramsumsi bahwa dalam perkembangan sastra ada suatu tungkat kejenuhan tertentu yang menuntut bangkitnya sebuah kode baru. Setiap perubahan konvensi sastra akan dianggap sebagai akibat dari naiknya suatu kelas baru atau sekelompok orang yang menciptakan seni untuk mereka sendiri. Penjelasan lain adalah bangkitnya generasi baru.   >>>>>>> Peradaban Yang Hilang Klik disini.... <<<<<<
Secara keseluruhan, pergantian generasi atau kelas sosial tidak memadai untuk menerangkan perubahan sastra. Perubahan sastra adalah suatu proses yang kompleks yang berbeda dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Sebagian perubahan itu bersifat internal, yakni disebabkan oleh kejenuhan dan keinginan untuk mengadakan perubahan. Tetapi sebagian lagi besifat eksternal, yakni disebabkan oleh perubahan sosial, intelektual, dan perubahan budaya lainnya. Kita dapat membandingkan Romantisme Inggris  dengan romantisme-romantisme lain di Jerman dan Prancis, dan kita dapat mempelajari kesejajaran atau yang dianggap sebagai kesejajaran pada aliran Romantisme seni rupa. Masalahnya pasti lain di waktu dan tempat yang berbeda. Agaknya tidak mungkin untuk membuat hukum-hukum yang umum. Masalah yang lebih luas dan lebih jauh, yaitu sejarah sastra nasional secara keseluruhan, lebih sulit lagi untuk dipecahkan. Sulit untuk menelusuri sejarah suatu sastra nasional sebagai karya seni kalau seluruh kerangka acuannya bersifat bukan sastra, yakni acuan tentang etika nasional atau kepribadian nasional, yang sedikit kaitannya dengan seni sastra. 

Sumber Gambar: Google.com

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Sastra"

Post a Comment