Sejarah Sastra
Apakah
mungkin menuliskan sejarah sastra, yang sekaligus merupakan sejarah, dan
berpendekatan sastra? Harus diakui bahwa kebanyakan sejarah sastra adalah
sejarah sosial atau sejarah pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra,
atau impreasi dan penilaian atas beberapa karya sastra yang di atur kurang
lebih secara kronologis. Pandangan sekilas atas sejarah historiografi sastra
Inggris akan mendukung pendapat ini. Thomas Warton (salah seorang sejarawan
“formal” yang menyusun sejarah puisi Inggris) memberikan alasannya untuk
mempelajari sastra kuno. Katanya, “sastra kuno dengan setia merekam keadaan
zamannya dalam bentuk yang sangat indah dan ekspresif”, dan “mewariskan kepada
anak cucu gambaran kehidupan yang benar-benar asli. Henry Morley melihat sastra
sebagai “biografi nasional” atau sebagai “cerita tentang alam pikiran orang
inggris”. Leslie Stephen menganggap sastra sebagai suatu “fungsi tertentu dari
seluruh organisme sosial”, “sejenis produk sampingan” dari perubahan sosial.
W.J. Courthope (pengarang dari satu-satunya sejarah puisi Inggris berdasarkan
suatu konsepsi yang utuh tentang perkembangannya) menjabarkan “studi puisi
Inggris sebagai studi dari perkembangan yang terus-menerus dari lembaga-lembaga
nasional kita yang dicerminkan dalam sastra”, dan ia mencari kesatuan subjeknya
“tepatnya di tempat sejarawan politik mencarinya, yakni dalam kehidupan bangsa
secara keseluruhan.
Sementara
sejarawan di atas dan banyak sejarawan lain memperlakukan sastra sebagai
dokumen untuk ilustrasi sejarah nasional atau sejarah sosial, ada kelompok lain
yang menyadari bahwa sastra adalah seni nomor satu. Dalam kata pengantarnya
untuk buku A Short History of Modern English Literatur (1897), Edmund Gosse
mengaku berusaha untuk menunjukkan “pergerakan dalam sastra Inggris”. Tetapi
sebenarnya ia hanya menyebutkan hal itu karena tahu bahwa penulisan sejarah
sastra yang ideal semacam itu sedang populer di Prancis. Dalam prakteknya, ia
tidak melakukannya. Buku-bukunya hanya merupakan satu seri pernyataan terhadap
sejumlah pengarang dan karyanya, yang di atur secara kronologis. Baru kemudian,
Gosse mengakui bahwa ia memang tidak tertarik pada gaya penulisan sejarah
Taine, dan lebih dekat pada sainte-beuve,ahli penulis potret Nutatis
mutandis, hal yang sama berlaku untuk George Saintsbury, yang konsep kritiknya
lebih dekat pada teori dan praktek’’apresiasi’’ Walter Peter, dan untuk Oliver Elton, yang enam jilid bukunya, Survey of english literature,merupakan prestasi
yang paling meyakinkan dalam penulisan sejarah sastra inggris.ia dengan jujur
mengaku bahwa bukunya sebetulnya merupakan’’sebuah resensi,kritik langsung’’dan
bukan sejarah daftar ini bisa diteruskan,dan tak akan ada habisnya memang ada
sejumlah perkecualian pada penulisan sejarah sastra prancis dan jerman,tetapi
selebihnya sama saja. Taine, misalnya, dalam teori-teorinya lebih tertarik pada
kepribadian nasional dan filsafat tentang milieu dan bangsa, Jusserand
mempelajari sejarah perilaku dengan bahan sastra inggris, dan Cazamian
menciptakan teori tentang’’gerakan bandul dalam irama moral jiwa nasional
bangsa inggris’’. Kebanyakan sejarah sastra yang paling menonjol adalah sejarah
kebudayaan atau kumpulan kritik sastra. Tipe pertama bukan sejarah
seni,sedangkan tipe yang kedua bukan sejarah seni.
Mengapa
tidak ada dalam skala yang luas usaha untuk menelusuri evolusi sastra sebagai
seni? Salah satu penghalangnya adalah kenyataan bahwa analisis-analisis karya
sastra yang pernah dilakukan sebelumnya,tidak konsisten dan sistematis.di satu
pihak ada kriteria retorik yang sudah usang,yang tidak memuaskan karena terlalu
memperhatikan teknik-teknik yang dangkal. Di pihak lain,ada studi bahasa emotif
yang mempelajari dampak sastra terhadap pembaca studi yang tidak mampu membuat
kolerasi langsung dengan karya sastra itu sendiri.
Kesulitan lain adalah prasangka bahwasejarah
sastra tidak mungkin disusun,kecuali berdasarkan suatu penjelasan kausal yang
berkaitan dengan kegiatan manusia.
Kesulitan
ketiga terletak pada seluruh konsepsi perkembangan seni sastra. Sedikit yang
meragukan kemungkinan membuat sejarah internal seni lukis dan seni musik.untuk
itu, cukup kita mengunjungi beberapa galeri seni yang disusun menurut susunan
kronologis, atau menurut’’aliran’’nya. Dari situ kita dapat melihat bahwa ada
sejarah seni lukis yang yang berbeda dari sejarah pelukis, atau apresiasi dan
penilaian lukisan secara terpisah. Untuk menyusun sejarah seni musik,kita cukup
mendengarkan konser yang komposisinya diatur secara kronologis.dari situ kita
dapat melihat bahwa ada sejarah musik yang tidak berkaitan dengan biografi
komponis,kondisi sosial produksi musik,atau apreasi musik
tertentu. Sejarah-sejarah semacam itu sudah dicoba dalam seni lukis dan seni
patung sejak Winckleman menulis Geschicle Der Kunts im altertum (1764), dan dalam
seni musik sejak burney mulai memperhatikan sejarah bentuk-bentuk musikal.
Mula-
mula sejarah sastra juga mempunyai masalah yang sama,karena memcoba menelusuri
sejarah sastra sebagai seni,terpisah dari sejarah sosial,biografi
pengarang,atau apresiasi karya perorangan. Tentu saja,tugas sejarah sastra(dalam
arti yang sempit) menimbulkan masalah yang khusus dibandingkan dengan
lukisan,yang dapat dilihat dalam satu kilasan.karya sastra hanya dapat
diapresiasi melalui waktu yang cukup lama. Jadi, lebih sukar diwujudkan sebagai
suatu kesatuan yang koheren.tetapi analogi dengan bentuk musik menunjukan bahwa
ada kemungkinan munculnya suatu pola, walaupun pola itu hanya dapat ditangkap
dalam suatu urutan waktu tertentu. Ada lagi masalah-masalah khusus yang
lain dalam sastra, ada transisi bertahap.dari pernyataan yang sederhana sampai
karya yang sangat terolah,karena medium sastra,yaitu bahasa.juga merupakan
medium komunikasi sehari-hari dan medium ilmu pengetahuan. Jadi, lebih sulit
memisahkan struktur estetis sastra.tetapi sebuah ilustrasi dalam buku
kedokteran dan lagu mars tentara adalah dua contoh yang menunjukan bahwa seni
lukis dan musik juga mempunyai kasus-kasus perbatasan semacam itu, dan kesulitan
dalam membedakan seni dan bukan seni dalam ujaran linguistik hanyalah lebih
besar secara kuantitatif saja.
Tetapi
teoretikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah,W.P. ker
mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra,karena
objek-objek sastra selalu ada, bersifat’’abadi’’,dan karenanya tidak mempunyai
sejarah sama sekali. T.S.eliot juga membantah adanya’’masa lampau’’dari suatu
karya sastra.’’seluruh sastra eropa sejak homer,’’katanya,’’mempunyai
keberadaan yang simultan dan membuat susunan yang simultan (‘’the whole of the
literature of europe from homer, he says,’’has a simultaneous existence and
composes a simultaneous order’’). Seperti Schopenhauer, kita dapat
menyatakan,bahwa seni selalu mencapai tujuannya.seni tidak pernah menjadi lebih
baik, tidak pernah dapat digantikan atau diulang. Dalam seni kita tidak perlu
mencari wie es eigentlich gewesen seperrti anggapan.ranke tentang tujuan
historiografi karena kita dapat langsung mengalami karya seni. Jadi, menurut
pandangan ini,sejarah sastra bukanlah sejarah dalam arti sebenarnya,karena
merupakan pengetahuan tentang masa kini, yang selalu ada,dan yang selamanya
ada.kita memang tidak bisa membantah ada perbedaan jelas antara sejarah politik
dan sejarah seni antara sesuatu yang bersifat sejarah dan berada di masa
lampau,dan sesuatu yang bersifat sejarah tetapi berada dimasa sekarang,memang
ada bedanya.
Seperti
yang telah kita tunjukan sebelumnya,sebuah karya sastra tidak akan bersifat
tetap sepanjang sejarah. Memang ada sesuatu identitas mendasar dari strukturnya
yang tetap sama sepanjang zaman. Tetapi struktur ini bersifat dinamis. Struktur itu berubah
sepanjang sejarah ketika melalui pikiran pembaca, kritikus, dan sesama
seniman. Proses interpretasi, kritik sastra,dan apresiasi tidak pernah dapat
diputus, dan akan tetap berlangsung seperti itu. Paling tidak, tradisi budaya tidak
pernah diinterupsi sepenuhnya, salah satu tugas sejarawan sastra adalah
menggambarkan proses ini. Tugas yang lain adalah menelusuri perkembangan karya
sastra yang disusun dalam kelompok yang lebih kecil, atau lebih besar, sesuai
dengan kesamaan genre,atau tipe stalistika atau tradisi linguistik. Dan
akhirnya, yang menyamakannya adalah skema sastra universal.
Tetapi
konsep perkembangan satu seri karya sastra agaknya merupakan konsep yang sangat
sulit.dalam pengertian tertentu, tiap karya sastra adalah suatu struktur yang
tidak dilanjutkan oleh karya sastra yang lain.kita dapat mengatakan bahwa tidak
ada perkembangan dari satu individualitas
dalam sastra ke inndividualitas lainnya. Bahkan ada suatu pendapat bahwa
tidak ada sejarah sastra; yang ada hanyalah sejarah manusia yang menulis.tetapi
menurut argumen yang sama,kita harus berhenti menulis sejarah bahasa, karena
hanya ada sejarah manusia yang membuat ujaran, dan kita juga harus berhenti
menulis sejarah filsafat,karena yang ada hanyalah sejarah manusia yang berpikir.’’personalisme’’yang
ekstrem seperti ini tentu mengarah kesuatu pandangan baha setiap karya sastra
sama sekali terpisah satu sama lain. Dalam prakteknya, hal ini berarti bahwa karya
sastra tidak dapat di pahami dan tidak komunikatif sama sekali. Yang harus dilihat
ialah karya sastra sebagai suatu keseluruhan sistem karya, yang dengan penambahan
karya baru,selalu berubah hubungannya dan berkembang sebagai suatu keseluruhan
yang berubah.
Perkembangan
berarti ada sesuatu yang lain dan yang lebih dari sekedar perubahan, atau yang
lebih dari sekedar perubahan yang teratur dan dapat diramalkan. Nampaknya jelas
bahwa hal ini harus diterapkan seperti dalam bidang biologi. Dalam biologi,
kalau kita perhatikan, ada dua konsep evolusi. Yang pertama adalah proses yang
ditunjukkan oleh perkembangan dari telur menjadi burung, dan yang kedua adalah
perkembangan yang ditunjukkan oleh perubahan dari otak ikan menjadi otak
manusia. Di sini tidak ada satu seri otak yang benar-benar berkembang, tetapi
yang ada hanyalah perkembangan dalam abstraksi konseptual. “Otak” di sini dapat
dijabarkan dalam pengertian fungsinya. Tahapan dalam perkembangan merupakan
tahapan sejumlah perkiraan tentang otak, sampai ke perkembangan yang mendekati
konsep “otak manusia”.
Istilah
“evolusi” dalam pengertian pertama jelas tak lebih dari sekadar metafora yang
terlalu mengada-ada. Misalnpertama jelas tak lebih dari sekadar metafora yang
terlalu mengada-ada. Misalnya, menurut Brunetiere, tragedi Prancis, lahir,
tumbuh, mundur, dan mati. Tetapi tertium comparationis untuk ahirnya tragedi
adalah argumen bahwa tidak ada tragedi di Prancis yang ditulis sebelum Jodelle.
Tragedi mati dalam arti tidak ada tragedi penting, menurut kreteria Brunetiere,
yang ditulis setelah Voltaire. Tetapi selalu ada kemungkinan bahwa di masa
depan akan ada tragedi besar yang ditulis dalam kesusastraan Prancis. Menurut
Brunetiere, karya Racine yang berjudul Phedre terletak pada awal kemunduran
tragedi; jadi, berada pada masa tua tragedi.
Meskipun
kita telah menolak analogi biologis antara perkembangan sastra dan proses
evolusi dari lahir sampai kematian-ide ini tidak hilang, dan bahkan baru-baru
ini dihidupkan kembali oleh Spengler dan Toynbee-tapi “evolusi” dalam pengrtian
kedua ini nampaknya lebih dekat dengan konsep evolusi sejarah. Pandangan ini
beranggapan bahwa kita tidak hanya melihat suatu urutan perubahan, tetapi harus
melihat tujuan perubahan itu. Pemecahannya dapat diperoleh dengan mengaitkan
proses sejarah ke suatu nilai atau norma. Hanya dengan demikian, suatu urutan
peristiwa yang nampak tidak berarti dapat dipecah-pecah menjadi unsur-unsur
yang penting dan tidak penting. Relativitas dari setiap karya sastra pada suatu
skala nilai adalah korelatif penting bagi kekhususan karya itu. Urutan
perkembangan akan diatur dengan acuan kepada skema nilai atau norma, tetapi
nilai-nilai ini hanya muncul dari kontemplasi terhadap proses tersebut. Memang,
di sini berlaku suatu lingkaran logika: proses sejarah harus dinilai
berdasarkan nilai, sedangkan skala nilai itu sendiri berasal dari sejarah.
Tetapi ini tidak dapat di hindarkan, karena di satu pihak kita harus menerima
pandangan bahwa sejarah merupakan aliran perubahan yang tidak berarti, atau
kita harus menerapkan standar dari luar sastra –sejumlah standar absolut yang
berada di luar proses sastra.
Pembahasan
mengenai evolusi sastra ini mau tidak mau terpaksa bersifat abstrak. Kita telah
berusaha membedakan evolusi sastra dan evolusi biologi, dan bahwa evolusi
sastra bukan merupakan suatu perkembangan yang seragam ke arah satu model yang
abadi. Sejarah hanya dapat ditulis dengan mengacu ada skema nilai yang beragam,
dan skema ini harus ditarik dari sejarah itu sendiri. Pemikiran ini dapat kita
jelaskan dengan contoh-contoh masalah yang dihadapi oleh sejarah sastra. Meskipun
banyak disalahgunakan, metode ini hendaknya tidak ditolak mentah-mentah, karena
merupakan suatu pendekatan yang absah. Dengan melakukan penelitian yang sangat
hati-hati, kita dapat menjelaskan hubungan sastra. Yang kurang menarik
dipelajari adalah kutipan, plagiarisme, dan gema suatu karya pada karya lain.
Fakta-fakta semacam ini paling banyak hanya dapat membuktikan bahwa ada kaitan
antara dua pengarang, meskipun ada pengarang (seperti Sterner dan Burton) yang
tahu bagaimana memanfaatkan kutipan untuk tujuan artistik mereka sendiri.
Kaitan antara beberapa karya sastra menyajikan masalah bagi kritik sastra. Di
sini kritik sastra dituntut untuk membandingkan dua karya yang utuh, duan
konfigurasi yang tidak boleh dipecah-pecah menjadi komponen-komponen, kecuali
untuk persiapan penelitian.
Orisinalitas
sering disalah artikan sebagai penyelewengan dari tradisi. Kadang-kadang
orisinalitas dicari ditempat yang salah, yakni hanya pada bahan mentah karya
sastra, atau pada pemasungan alur tradisional dan kerangka konvensional. Pada
periode-periode awal, ada pegertian yang lebih sehat tentang sifat kreasi
sastra. Ada kesadaran bahwa nilai artistik dari alur yang orisinal atau bahan
cerita yang orisinal tidak terlalu tinggi. Aliran Renaisans dan Neo-Klasik
bahkan sangat menggap penting karya terjemahan (terutama terjemahan puisi) dan
“tiruan”-seperti usaha Pope menirukan satire Horace dan usaha Samoel Johnson
menirukan karya Juventul.” Dalam bukunya, European Literture and the Latin
Middle Ages (1948), Ernst Robert Curtius telah menunjukkan secara meyakinkan
peranan hal-hal yang bisa (topoi), tema-tema yang sudah umum, dan pencitraan
yang berasal dari masa silam dan zaman pertengahan Latin dalam sejarah sastra
dan kesusastraan modern. >>>>>> Sejarah Mumi Mesir Kuno Klik Disini.... <<<<<<
Kita
dapat menilai satu karya atau sekelompok karya yang dianggap sebagai yang
paling matang, lalu membandingkan seluruh karya yang lain berdasarkan tipe yang
kita pilih tadi. Penilitian semacam ini sudah sering di coba dalam banyak
publikasi, meskipun jarang dengan kesadaran yang jelas pada masalah yang
terkait, dan biasanya dengan mencampuradukkan masalah karya dengan masalah
kehidupan pribadi pengarang. Salah satu tipe seri evolusi dapat disusun dengan
cara memisahkan salah satu kecendrungan dalam karya sastra, lalu menelusuri
perkembangan dalam mencapai suatu tipe ideal (walaupun hanya sementara saja
bersifat ideal). Ini dapat dilakukan dalam tulisan satu pengarang, misalnya,
kalau kita meneliti-seperti yang dilakukan Clemen-evolusi pencitraan
Shakespeare, atau jika kita meneliti satu periode sejarah sastra atau sastra
nasional tertentu. Stoffgeschichte adalah sejarah yang paling sedikit
menyangkut segi sastra.
Sejarah
genre sastra dan tipe sastra menampilkan permasalahan yang lain. Tetapi
permasalahan ini bukannya tidah dapat dipecahkan. Dan meskipun Croce berusaha
mendiskreditkan keseluruhan konsepsi sejarah tipe dan genre, telah banyak
dilakukan penelitian untuk menyiapkan sebuah teori. Penelitian-penelitian
pendahuluan itu sendiri telah menyiratkan suatu teori yang diperlukan
untukmenyusun sebuah sejarah yang jelas. Dilema sejarah genre adalah dilema
semua sejarah. Pendekatan “morfologis” dapat dan harus diterapkan dalam skala
yang luas untuk mempelajari folklaor. Dalam folkalor, genre-genre lebih jelas
dijabarkan dari sastra seni, dan studi morfologis lebih berarti daripada
sekedar studi migrasi “motif” dan alur. Di rusia, penelitian semacam ini sudah
mulai dengan baik. Masalah yang sama ditimbulkan oleh sejarah suatu periode
atau aliran. Pembahasan tentang perkembangan harus menunjukkan bahwa kita tidak
menyetujui dua buah pandangan yang ekstrem. Yang pertama adalah pandangan
metafisik bahwa suatu periode adalah suatu kesatuan yang sifatnya harus
ditentukan, sedangkan pandangan yang lain bersifat nominalistis. Periode
dianggap hanya merupakan label linguistik untuk suatu kurun waktu tertentu yang
diperlukan untuk tujuan menguraikan. Nominalisme yang ekstrem berasumsi bahwa
suatu periode merupakan suatu pemaksaan yang bersifat seenaknya atas
bahan-bahan yang sebetulnya merupakan suatu keragaman yang tidak terarah dan
berlangsung secara terus-menerus.
Pada
periode sejarah sastra dibagi sesuai
dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi
politik atau sosial suatu negara, dan permasalahan menentukan periode diberikan
pada sejarawan politik dan sosial ini biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan
lagi. Kalau kita melihat sejarah sastra Inggris yang lebih tua, kita akan
mendapati bahwa sejarah itu ditulis menurut pembagian tanggal atau menurut
kreteria politik yang sederhana, misalnya pemerintahan raja-raja Inggris. Kita
tidak perlu lagi sastra inggris dibagi menurut waktu kematian para raja ini.
Kita tidak lagi berpegang secara kaku pada periodisasi secara kronologis yang
ditentukan oleh naik dan matinya raja-raja. Kita memakai istilah “Elizabethan”
untuk mengacu pada penulis-penulis yang hidup sebelum tutupnya teater (1642),
empat puluh tahun setelah kematian Ratu Elizabeth. Dan sebaliknya, meskipun
Oscar Wilde hidup pada waktu pemerintah RatuVictoria, kita tidak menganggap
Oscar Wilde sebagai pembagian politi, kini mempunyai makna baru dalam sejarah
pemikiran dan sejarah sastra.
Untuk
mempertahankan istilah campuran semacam ini, kita dapat mengatakan bahwa
kekacauan disebabkan oleh sejarah itu sendiri. Sebagai sejarawan sastra,
pertama-tama kita harus memperhatikan pemikiran dan konsepsi, program dan
nama-nama yang diberikan oleh penarang-pengarangnya sendiri, dan dengan
demikian harus puas dengan pembagian yang dibuat oleh para pengarang. Kalau
hasil periode sastra itu kebetulan sama dengan periodisasi politik, sosial,
cabang seni yang lain, dan sejarah pemikiran, kita tidak perlu merasa
keberatan. Tetapi titik tolaknya harus tetap perkemabangannya sastra sebagai
sastra. Jadi, periode hanya merupakan subbagian dari perkembangan universal.
Sejarah sastra hanya dapat disusun dengan acuan ke suatu skema nilai yang
bervariasi, yang hanya dapat diabstraksikan dari sejarah itu sendiri. Dengan
demikian, suatu periode merupakan bagian waktu yang didominasi oleh sistem
norma, standar konvensi sastra, yang dapat ditelusuri penyebaran,
diversifikasi, integrasi, dan kepunahannya.
Jadi,suatu
periode bukannya suatu tife atau kelas, tetapi merupakan bagian waktu yang
dijabarkan oleh sistem norma yang melekat pada proses sejarah, dan tidak dapat
dilepaskan daripadanya. Berbagai usaha yang tidak berhasil untuk menjabarkan
Romantisme menunjukkan bahwa sebuah periode adalah sebuah konsep yang berbeda
logikanya dari sebuah kelas. Kalau seandainya sama, maka semua karya dapat dianggap
termasuk didalamnya. Masalah penelusuran sejarah periode merupakan masalah
deskripsi. Kita perlu memperhatikan kemunduran suatu konvensi dan bangkitnya
konvrnsi yag baru. Mengapa perubahan konvensi ini terjadi pada waktu tertentu
merupakan masalah sejarah yang tidak dapat dipecahkan dalam istilah-istilah
yang umum. Salah satu tipe pemecahan yang diusulkan beramsumsi bahwa dalam
perkembangan sastra ada suatu tungkat kejenuhan tertentu yang menuntut
bangkitnya sebuah kode baru. Setiap perubahan konvensi sastra akan dianggap
sebagai akibat dari naiknya suatu kelas baru atau sekelompok orang yang
menciptakan seni untuk mereka sendiri. Penjelasan lain adalah bangkitnya
generasi baru. >>>>>>> Peradaban Yang Hilang Klik disini.... <<<<<<
Secara
keseluruhan, pergantian generasi atau kelas sosial tidak memadai untuk
menerangkan perubahan sastra. Perubahan sastra adalah suatu proses yang
kompleks yang berbeda dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Sebagian perubahan
itu bersifat internal, yakni disebabkan oleh kejenuhan dan keinginan untuk
mengadakan perubahan. Tetapi sebagian lagi besifat eksternal, yakni disebabkan
oleh perubahan sosial, intelektual, dan perubahan budaya lainnya. Kita dapat
membandingkan Romantisme Inggris dengan
romantisme-romantisme lain di Jerman dan Prancis, dan kita dapat mempelajari
kesejajaran atau yang dianggap sebagai kesejajaran pada aliran Romantisme seni
rupa. Masalahnya pasti lain di waktu dan tempat yang berbeda. Agaknya tidak
mungkin untuk membuat hukum-hukum yang umum. Masalah yang lebih luas dan lebih
jauh, yaitu sejarah sastra nasional secara keseluruhan, lebih sulit lagi untuk
dipecahkan. Sulit untuk menelusuri sejarah suatu sastra nasional sebagai karya
seni kalau seluruh kerangka acuannya bersifat bukan sastra, yakni acuan tentang
etika nasional atau kepribadian nasional, yang sedikit kaitannya dengan seni
sastra.
Sumber Gambar: Google.com
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Sastra"
Post a Comment